VIVAnews - Pemerintah telah menyampaikan paket
kebijakan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi gejolak di
pasar uang dan nilai tukar yang berlangsung beberapa hari terakhir
ini.
Kondisi tersebut, didorong sentimen eksternal. Terutama, terjadinya
kekhawatiran pasar akan adanya pengurangan stimulus moneter di Amerika
Serikat yang memicu kejatuhan pasar keuangan dan nilai tukar di sejumlah
pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain faktor ekstenal, sentimen internal turut memicu terjadinya
gejolak di pasar keuangan, yakni kekhawatiran memburuknya neraca
pembayaran.
Setelah pemerintah mengeluarkan empat jurus
kebijakan ekonomi, lembaga keuangan terkait, Bank Indonesia tidak mau
ketinggalan. Bank sentral yang dikomandoi mantan Menteri Keuangan
tersebut, turut meluncurkan sejumlah lanjutan untuk menjaga stabilitas
makro ekonomi.
"Langkah ini guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan," kata Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo,
akhir pekan lalu.
Langkah-langkah lanjutan ini, menurutnya, diharapkan dapat
meningkatkan efektivitas bauran kebijakan yang telah ditempuh BI pada
Rapat Dewan Gubernur 15 Agustus 2013.
Bauran kebijakan itu, terutama dalam mengendalikan inflasi,
mengelola neraca pembayaran yang lebih sustainable, dan memperkuat
stabilitas sistem keuangan.
Kebijakan lanjutan ini diarahkan untuk meningkatkan pasokan valas
secara lebih efektif, dan pendalaman pasar uang. Untuk itu, BI
mengeluarkan lima langkah lanjutan.
Pertama, BI memperluas jangka waktu Term Deposit Valas
yang saat ini 7, 14, dan 30 hari menjadi 1 hari hingga 12 bulan.
Kebijakan ini bertujuan meningkatkan keragaman tenor penempatan devisa
oleh bank umum di Bank Indonesia.
Kedua, BI melonggarkan ketentuan pembelian valas bagi eksportir
yang telah melakukan penjualan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Kebijakan ini
bertujuan memberikan kemudahan bagi eksportir melakukan pembelian valas
dengan menggunakan underlying dokumen penjualan valas.
Ketiga, BI menyesuaikan ketentuan transaksi Forex Swap bank dengan
Bank Indonesia yang diperlakukan sebagai pass-on transaksi bank dengan
pihak terkait. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan kedalaman transaksi
derivatif.
Keempat, BI merelaksasi ketentuan utang luar negeri (ULN), dengan
menambah jenis pengecualian ULN jangka pendek bank, berupa giro rupiah
milik bukan penduduk yang menampung dana hasil divestasi dari hasil
penyertaan langsung, pembelian saham dan/atau obligasi korporasi
Indonesia serta Surat Berharga Negara (SBN).
"Kebijakan ini bertujuan mengelola permintaan valas oleh nonresiden
tanpa mengurangi aspek kehati-hatian bank dalam melakukan pinjaman luar
negeri," ujar Agus.
Kelima, BI menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI).
Kebijakan ini bertujuan memberikan ruang yang lebih luas bagi perbankan
untuk mengelola likuiditas rupiah melalui instrumen yang dapat
diperdagangkan. "Upaya ini diharapkan dapat mendorong pendalaman pasar
uang," tambahnya.
Kebijakan lanjutan BI itu diharapkan dapat bersinergi dengan paket
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Sinergi kebijakan ini sangat
strategis. Karena, selain ditujukan untuk menangani ketidakpastian
jangka pendek, secara struktural diharapkan dapat mengatasi
ketidakseimbangan eksternal. "Perekonomian akan menjadi lebih sehat dan
sustainable dalam jangka panjang," tutur Agus.
Komentar kalangan
Lima langkah untuk 'mengamankan' keadaan rupiah terhadap dolar AS
yang masuk zona mengkhawatirkan itu, turut mengundang komentar dari
pengusaha sampai para pengamat pasar uang.
Pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) menilai, lima langkah tersebut akan efektif tapi dengan syarat.
"Kalau kebijakan yang dikeluarkan BI dan pemerintah action plan, dijalankan serius, dan sesuai dengan janji akan efektif," kata Ketua Apindo, Sofjan Wanandi, saat dihubungi VIVAnews, Minggu 25 Agustus 2013.
Sofjan menilai bahwa pasar akan melihat apa yang diambil bank
sentral tersebut dalam meredam gejolak rupiah selama 1-2 bulan ke depan.
Sebab, pelaku pasar tidak mengetahui secara pasti pada level berapa
dolar AS akan stabil. "Kami tidak tahu, akan ada di level Rp10 ribu-Rp11
ribu. Kami akan melihat, apakah dolar akan turun bertahap secara
nyata," ujarnya.
Sebab, dia melanjutkan, para pengusaha berharap bahwa dolar menjadi
lebih stabil dan tidak ada spekulan yang memperkeruh suasana ini. "Ini
masalah kepercayaan. Kami berharap, dolar bisa lebih stabil. Spekulan
juga takut (bertindak), kalau dolar menjadi lebih stabil. Dolar menjadi
seperti ini karena ulah spekulan," kata Sofjan.
Dalam kesempatan ini, Sofjan juga menekankan beberapa hal dalam
realisasi kebijakan ini. "Ekspor harus bertambah, impor barang turun,
dan defisit neraca perdagangan bisa ditekan," tuturnya.
Kepala Ekonom Universitas Gajah Mada, sekaligus Komisaris PT Bank
Permata Tbk, Tony Prasetiantono, menilai lima kebijakan yang saat ini
tengah ditempuh BI belum bisa memberikan dampak stabilisasi rupiah dalam
jangka pendek.
Ia berpendapat, diperlukan sebuah langkah yang lebih kuat untuk menjaga pergerakan rupiah terhdap dolar AS yang semakin liar.
"Paket Kebijakan pemerintah dampaknya jangka menengah dan panjang,
masih perlu waktu agar bisa diimplementasikan secara efektif. Padahal,
tekanan terhadap rupiah kian kuat dalam pekan ini. Harus ada kebijakan
yang lebih powerful dalam jangka pendek," kata Tony kepada VIVAnews di Jakarta, Minggu.
Tony menyarankan, untuk menjaga tekanan terhadap rupiah, BI harus
lebih agresif mengeluarkan kebijakannya. Salah satunya, dengan kembali
menaikkan suku bunga acuan perbankan, BI Rate sebesar 6,75 basis poin. Langkah ini sebagai respon tingginya inflasi year on year sebesar 8,61 persen.
Selain itu, untuk mengurangi pemilik dana memindahnya rupiahnya ke dalam dolar, diperlukan negosiasi penjadwalan ulang (rescheduling) pembayaran utang luar negeri pemerintah dan swasta.
"Ini pernah kita lakukan, sebagaimana dulu saat krisis 1998,
melalui Jakarta Initiative. Terakhir, perintah perlu pinjaman siaga dari
Chiang Mai Initiative untuk memperkuat cadangan devisa yang saat ini
meluncur turun ke US$92,7 miliar. Padahal, dua tahun lalu sudah
mencembus US$124,7 miliar," tegasnya.
Menurut Tony, pilihan meminjam dana siaga Chiang Mai Initiative
adalah pilihan terakhir. Untuk sementara waktu, BI dapat berkonsentrasi
untuk menaikkan BI rate. "Itu prioritas terakhir. Saat ini, menaikkan BI rate dan rescheduling utang LN dulu," ungkapnya.
Terkait cadangan devisa yang terus merosot, Gubernur BI membantah bahwa hal tersebut menunjukkan bank sentral lebih menyukai menghabiskan devisa dibandingkan dengan memainkan suku bunga untuk meredam tekanan terhadap rupiah.
"Cadangan devisa memang tergerus dari US$105 miliar menjadi US$98
miliar antara lain untuk intervensi ke pasar. Bahwa kami tidak
menaikkan suku bunga BI Rate secara agresif, itu karena kanaikan suku
bunga biayanya terhadap keseluruhan perekonomian akan sangat besar,"
ujar Gubernur BI, 14 Juli lalu.
Ramalan Goldman Sachs
Sementara itu, Goldman Sachs, salah satu perusahaan investasi
terbesar di Amerika Serikat, menurunkan proyeksinya terhadap mata uang
negara-negara berkembang Asia. Penurunan target kurs ringgit Malaysia,
baht Thailand, dan rupiah Indonesia dilakukan untuk proyeksi 3, 6, dan
12 bulan.
Dikutip dari CNBC, pelemahan mata uang di pasar negara
berkembang tersebut, terjadi karena dipicu kekhawatiran adanya
pengurangan stimulus moneter di AS.
Dari ketiga mata uang Asia Tenggara itu, rupiah merupakan kurs yang
mengalami pelemahan paling tajam akibat derasnya arus keluar modal
asing.
Goldman memperkirakan, rupiah kembali melemah hingga level Rp11.800
per dolar AS pada tahun depan, jauh lebih dalam dibandingkan estimasi
sebelumnya di Rp10.500 per dolar AS.
Target baru tersebut, melemah sekitar sembilan persen jika
dibandingkan kurs rupiah saat ini terhadap dolar AS yang terpantau pada
level Rp10.830 per dolar AS.
Rupiah diketahui sempat menyentuh titik terendah dalam lebih dari
empat tahun terakhir pada sesi perdagangan Jumat lalu, 23 Agustus 2013,
sekaligus menandai koreksi sebanyak 12 persen sepanjang tahun ini.
"Tekanan terhadap rupiah masih eksis untuk jangka pendek, jika kita
mempertimbangkan efek dari inflasi domestik dan potensi pengurangan
stimulus Federal Reserve," ungkap Goldman dalam pernyataan resminya.
Inflasi Indonesia tercatat pada level 8,61 persen pada Juli lalu
atau bergerak dalam laju tercepatnya dalam empat setengah tahun
terakhir.
Bank Indonesia telah bereaksi dengan menaikkan suku bunga sebanyak
75 basis poin menjadi 6,5 persen dalam rapat bulan Juni dan Juli lalu.
Bank sentral menjadi otoritas pertama di Asia yang berani melakukan itu
sejak Juni 2011.
Namun, terlepas dari pengetatan moneter yang diterapkan Bank
Indonesia, kurs rupiah terus melemah dalam beberapa pekan belakangan.
Untuk itu, Goldman memprediksi bank sentral kembali menaikkan suku bunga
pada pertemuan September mendatang guna membendung pelemahan lebih
lanjut.
"Suku bunga yang lebih tinggi memang mampu menstabilkan nilai
tukar. Namun, kami berharap pemerintah melakukan sesuatu untuk
mempercepat laju ekonomi, khususnya jelang Pemilihan Umum 2014
mendatang," ulas Goldman.
Sedangkan untuk baht Thailand, Goldman memprediksi jatuh ke level
32 per dolar atau mengalami penurunan persen dari target harga
sebelumnya.
Comments